Wednesday, February 17, 2010

Menanti Tetesan Air (Syekh Maulana Malik Ibrahim)

Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi.

Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos. Perang saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana.

Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.



Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di manamana. Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin menggenaskan.

Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat. Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.

Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah.

Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan. Irama gending segera berhenti.

Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding kearah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.

“Bawa kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.

Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.

“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa.

Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan. Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Kini sang pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas langit.

“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian teriaknya berkali-kali.

Si pendeta tua segera mendekati si gadis dengan senyum menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu mencabut belati dari balik pinggangnya.

“Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar dari jantungmu sederas itu pula hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”

“Jaj …… jangan …… ! Aku tidak mau …… !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar ketakutan.

“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret, pucat pasi.

“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang memegangi sepasang tangan dan kaki si gadis makin mempererat cekalannya. San pendeta mendekati altar persembahan.

Ia mengangkat belati itu di atas dada si gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak menikam jantung si gadis cantik dengan belati itu.

“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut namun jelas terdengar oleh semua orang.

Kakek Bantal dan kelima orang muridnya menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri si pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke jantung si gadis.

“Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.

“Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.

“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis cantik ?”

“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air.” Sahut sang pendeta.

“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi.

Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal.

Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek Bantal. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala Kakek Bantal.

Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak menyaksikan hal itu.

Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk meluncurkan belati itu ke dada si gadis.

“Kau …… ? Kau …… ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.” Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”

Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.

“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa
Hujan ?” tanya Kakek Bantal.

“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.

“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”

“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.

“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek Bantal.

Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum …… “.

Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali.

Dewa Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan akan diturunkan !”

“Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya Kakek Bantal.

Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar dibelakangnya untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau.

Dua lelaki itu, yang agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud menghajar Kakek Bantal hingga babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tiba-tiba terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya.

“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja mengganggu upacara kami !”

“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.”

“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini ?”

“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya.

“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak.

“Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.

“Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu ! Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segan-segan akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”

“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan tenang.

“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”

“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal.

“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.

“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan atas ijin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.

“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !”

Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, “Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”

“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.

“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan !”

Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.

Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang.

Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.

“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja !”

Kakek Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi !”

Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.

Ketika hujan sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kakek Bantal dan kelima muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hampir saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.

“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek Bantal. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah dalam sujud.”

Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal, semua orang segera bangkit untuk bersila, salah seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta hujan seperti tadi ?”

“Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia !”

Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.

“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?”

“Mauuuuuu …… ! jawab para penduduk dengan serentak.

Demikianlah, selama beberapa hari Kakek Bantal tinggal di desa itu. Membimbing para penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka selaku orang awam.

Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan perjalanan pulang ke Gresik. Ia telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing penduduk desa itu. Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk desa itu.

Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.